BANGKA, Portalbatavia
Pertumbuhan ekonomi di Kepulauan Bangka Belitung tercatat anjlok di angka 0,13 persen, menjadikan daerah ini dengan perekonomian yang terendah di Sumatera.
Melemahnya sektor pertimahan berdampak pada bertambahnya angka pengangguran sehingga daya beli masyarakat ikut berkurang.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bangka Belitung Fery Insani mengatakan, 60 persen ekonomi Bangka Belitung dipengaruhi konsumsi masyarakat.
Ketika masyarakat kehilangan pekerjaan, jatuh miskin, ekonomi langsung terpengaruh.
“Mindset investasi masih pada sektor pertimahan. Banyak investor datang dari luar negeri, hanya untuk investasi soal timah. Ada logam tanah jarang, tapi belum terkelola,” kata Fery saat diskusi panel di Graha Timah, Selasa (24/12/2024).
Fery menjelaskan, butuh dua sampai tiga tahun untuk memulihkan perekonomian Bangka Belitung.
Saat ini pembangunan dihadapkan pada berbagai tantangan salah satunya pola pikir masayarakat.
“Peluang ada pada sektor kelautan dan pariwisata, tapi harus mengubah mindset masyarakat yang generasinya cenderung jadi pegawai negeri,” ujar Fery.
Di sisi lain, poros ekonomi yang bergerak saat ini cenderung berjalan seperti kartel dan oligarki.
“Kalau ada yang usaha timah, yang usaha di lingkaran itu saja. Lada juga, yang itu-itu saja terbentuk sejak dulunya,” jelas Fery.
Praktisi Hukum Imam Haryanto mengatakan, Bangka Belitung bisa diangkat dari keterpurukan ekonomi lebih cepat dengan cara memaksimalkan pendapatan daerah.
Salah satu sumber pendapatan yakni dengan menaikan royalti timah dari tiga persen menjadi sepuluh persen.
“Ini perlu perubahan regulasi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Undang-undang perlu direvisi sampai aturan kementerian di bawahnya. Jika satu tahun selesai, royalti bisa naik dan ekonomi Bangka Belitung tumbuh lebih cepat,” ungkap Imam.
Dia menilai, angka royalti tiga persen sudah harus diubah karena tidak lagi sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
Dalam waktu bersamaan, perekonomian Bangka Belitung terpuruk imbas kasus tata niaga timah yang memicu tutupnya sejumlah smelter dan pabrik sawit.
Rektor Universitas Bangka Belitung Fadilah Sabri menilai, tata niaga timah perlu diperbarui menjadi lebih transparan tanpa praktik korupsi.
“Tata kelola sudah berjalan, tapi belum transparan dan pertanggungjawaban lingkungan tidak jelas,” ujar Fadilah.
Dia juga menyayangkan kondisi ekonomi pada pertengahan tahun yang hanya tumbuh 0,13 persen.
Sebagai penghasil timah dunia dengan penambangan yang berlangsung ratusan tahun, Bangka Belitung kini justru dihadapkan pada keterpurukan ekonomi.
Tercatat perekonomian Bangka Belitung tersebut jauh di bawah Sumatera Utara yang mencapai 4,8 persen dan Sumatera Barat 4,33 persen.
Dekan Fakultas Ekonomi Bangka Belitung Devi Valeriani mengatakan, pertumbuhan ekonomi nasional selama 2025 diprediksi di angka 5 persen.
World Bank memprediksi 5,1 persen, Morgan Stanley 5 persen, Bank Indonesia 5,2 persen.
“Dihadapkan pada lapangan kerja dengan tingginya pengangguran untuk lulusan SMA/SMK. Kemudian ada lonjakan PHK pada 2024 yang berasal dari penutupan smelter,” ujar Devi.
“Peningkatan pendapatan daerah salah satunya melalui pajak,” tambah dia.
Direktur Operasi PT Timah Tbk Nur Adi Kuncoro mengatakan, ada logam tanah jarang (rare eart) sebagai mineral ikutan timah, namun potensinya juga jarang.
Saat ini terdeteksi ada di Bangka Selatan dan Belitung Timur dengan produk turunan berupa monasit.
Saat ini ekspor masih didominasi logam timah sehingga butuh hilirisasi yang berkelanjutan.
“Sebanyak 357.000 ton per tahun untuk konsumsi dunia yang sebagian besar digunakan untuk solder elektronik dan kemasan medis (tin medical),” ujar Kuncoro.
Volume ekspor dari Bangka Belitung selama 2023 mencapai 56.000 ton, diperkirakan turun pada 2024 menjadi 45.000 ton.
Hal ini terjadi karena penurunan produksi dan permintaan global yang belum tumbuh signifikan.
“Stok timah kita semakin sedikit dan butuh teknologi dan pengembangan untuk penambangan,” pungkas Kuncoro.